ANJING DI BUKIT JAHIL (MALAYSIA)
Friday, November 30, 2012
Leave a Comment
Oleh S Saiful Rahim
SAYA punya teman orang Malaysia yang baik sekali. Namanya Salleh, istrinya Rahmah, tinggal di Kuala Lumpur. Setiap kali saya ke Malaysia, hampir selalu dijemputnya di bandara dan diantarkan ke mana pun saya ingin pergi.
Tapi entah sudah berapa ratus, atau mungkin ribuan, kali dia ke Jakarta, baru sekali saya menjemputnya. Itupun sekadar mengantarkannya dari bandara ke hotel. Tak lebih dan tak kurang.
Istrinya, Rahmah, selain seorang wartawati juga novelis. Karena begitu dekatnya persahabatan kami, sehingga di dalam salah satu novelnya Rahmah memberi nama tokohnya Saiful dan Azzam. Maksudnya saya dan Tarman Azzam, pemimpin redaksi surat kabar ini.
Suatu hari, beberapa puluh tahun yang lalu, saya berjalan-jalan dengan Siera, putri balita pasangan Salleh-Rahmah, di lingkungan rumah mereka. Tiba-tiba, sambil merangkul kaki saya, Siera berteriak “anjing-anjing” dengan muka pucat ketakutan.
Dengan cekatan saya angkat dan gendong anak yang cantik itu. Saya tersenyum ketika ingat waktu seumur Siera saya pun amat takut pada anjing, sebagaimana lazimnya anak-anak Muslim.
Jumat pagi kemarin, melalui hp seorang teman menunjukkan video yang memperlihatkan orang-orang berteriak “anjing-anjing,” di stadion Bukit Jalil. Melihat itu saya jadi teringat Siera yang imut-imut itu.
Rupanya orang-orang yang berteriak di Bukit Jalil itu seperti anak-anak, takut pada anjing. Artinya, meskipun bentuk tubuhnya sudah bukan kanak-kanak lagi, tapi mental mereka masih kekanak-kanakan dan primitif.
Karena itu saya cenderung menyebut stadion tersebut bukan Bukit Jalil, tetapi Bukit Jahil. Karena pemiliknya adalah orang-orang yang masih layak digolongkan jahiliyah.
Saya pernah membaca buku “Looking Back” yang ditulis oleh orang yang bernama Tengku Abdul Rahman Putra Al-Haj atau lengkapnya Tengku Abdul Rahman Ibnil Al-Marhum Tuanku Muhammad Yang Dipertuan Besar dari Negeri Sembilan. Dia itu tak lain dan tak bukan adalah pendiri Malaysia.
Nah, di dalam buku yang diterbitkan tahun 1977 itu digambarkan sang Tengku tergolong “buaya bola.” Disebutkan pula bahwa “Turnamen Merdeka” yang dialah pencetusnya adalah satu-satunya turnamen yang pernah ada di dunia ini yang mengongkosi kesebelasan tamu pulang pergi dari negerinya masing-masing.
Dan tidak kalah tinggi hati ditulis juga bahwa dia adalah juara tenis. Meski hanya tingkat kampus. Tak lupa disebutkan pula bahwa dia pernah diundang menjadi tamu Ratu Elizabeth.
Ketika berbicara tentang Bung Karno terlihat kebenciannya sampai ke tulang sumsum. Katanya Bung Karno itu tidak bertanggungjawab. Sok keren. Tak rasional. Merasa diri paling jago dan negerinya paling jempolan.
Tentang “konfrontasi” yang pernah terjadi antara Indonesia dan Malaysia, di matanya tak secuil pun Indonesia benar. Kira-kira samalah dengan lelaki yang seenaknya saja menceraikan istri yang baru empat hari dinikahi. (syahsr@gmail.com )
Thank to : http://www.harianterbit.com/2012/12/01/anjing-di-bukit-jahil/
SAYA punya teman orang Malaysia yang baik sekali. Namanya Salleh, istrinya Rahmah, tinggal di Kuala Lumpur. Setiap kali saya ke Malaysia, hampir selalu dijemputnya di bandara dan diantarkan ke mana pun saya ingin pergi.
Tapi entah sudah berapa ratus, atau mungkin ribuan, kali dia ke Jakarta, baru sekali saya menjemputnya. Itupun sekadar mengantarkannya dari bandara ke hotel. Tak lebih dan tak kurang.
Istrinya, Rahmah, selain seorang wartawati juga novelis. Karena begitu dekatnya persahabatan kami, sehingga di dalam salah satu novelnya Rahmah memberi nama tokohnya Saiful dan Azzam. Maksudnya saya dan Tarman Azzam, pemimpin redaksi surat kabar ini.
Suatu hari, beberapa puluh tahun yang lalu, saya berjalan-jalan dengan Siera, putri balita pasangan Salleh-Rahmah, di lingkungan rumah mereka. Tiba-tiba, sambil merangkul kaki saya, Siera berteriak “anjing-anjing” dengan muka pucat ketakutan.
Dengan cekatan saya angkat dan gendong anak yang cantik itu. Saya tersenyum ketika ingat waktu seumur Siera saya pun amat takut pada anjing, sebagaimana lazimnya anak-anak Muslim.
Jumat pagi kemarin, melalui hp seorang teman menunjukkan video yang memperlihatkan orang-orang berteriak “anjing-anjing,” di stadion Bukit Jalil. Melihat itu saya jadi teringat Siera yang imut-imut itu.
Rupanya orang-orang yang berteriak di Bukit Jalil itu seperti anak-anak, takut pada anjing. Artinya, meskipun bentuk tubuhnya sudah bukan kanak-kanak lagi, tapi mental mereka masih kekanak-kanakan dan primitif.
Karena itu saya cenderung menyebut stadion tersebut bukan Bukit Jalil, tetapi Bukit Jahil. Karena pemiliknya adalah orang-orang yang masih layak digolongkan jahiliyah.
Saya pernah membaca buku “Looking Back” yang ditulis oleh orang yang bernama Tengku Abdul Rahman Putra Al-Haj atau lengkapnya Tengku Abdul Rahman Ibnil Al-Marhum Tuanku Muhammad Yang Dipertuan Besar dari Negeri Sembilan. Dia itu tak lain dan tak bukan adalah pendiri Malaysia.
Nah, di dalam buku yang diterbitkan tahun 1977 itu digambarkan sang Tengku tergolong “buaya bola.” Disebutkan pula bahwa “Turnamen Merdeka” yang dialah pencetusnya adalah satu-satunya turnamen yang pernah ada di dunia ini yang mengongkosi kesebelasan tamu pulang pergi dari negerinya masing-masing.
Dan tidak kalah tinggi hati ditulis juga bahwa dia adalah juara tenis. Meski hanya tingkat kampus. Tak lupa disebutkan pula bahwa dia pernah diundang menjadi tamu Ratu Elizabeth.
Ketika berbicara tentang Bung Karno terlihat kebenciannya sampai ke tulang sumsum. Katanya Bung Karno itu tidak bertanggungjawab. Sok keren. Tak rasional. Merasa diri paling jago dan negerinya paling jempolan.
Tentang “konfrontasi” yang pernah terjadi antara Indonesia dan Malaysia, di matanya tak secuil pun Indonesia benar. Kira-kira samalah dengan lelaki yang seenaknya saja menceraikan istri yang baru empat hari dinikahi. (syahsr@gmail.com )
Thank to : http://www.harianterbit.com/2012/12/01/anjing-di-bukit-jahil/
0 comments »
Leave your response!